lan tanaaluu albirra hattaa tunfiquu mimmaa tuhibbuuna wamaa tunfiquu min syay-in fa-inna allaaha bihi ‘aliimun
“Sekali-kali tidaklah kamu akan mencapai kebaikan, sebelum kamu mendermakan sebagian dari harta yang kamu sayangi. Dan apa juapun yang kamu dermakan itu semua Allah Maha Mengetahui” (QS. Ali Imran, 92)
Abdullah bin Ja’far adalah seorang dermawan yang terkenal. Di masa itu. siapa orang yang tidak mengenal kedermawanan beliau? Beliau adalah anak dari Ja’far bin Abu Tholib seorang pahlawan yang tewas dalam perang Mu’ tah.
Suatu hari Abdullah bin Ja’far berjalan memeriksa kebun-kebunnya. Karena hari sangat panas maka beliau berhenti di sebuah kebun milik orang lain untuk melepas lelah. Di kebun itu ada seorang penjaganya yaitu seorang budak hitam. Di saat hari yang begiu panas menyengat itu, tiba-tiba masuklah seekor anjing ke dalam kebun itu, lidahnya kering terjulur keluar, jalannya gontai karena anjing itu sedang kehausan dan kelaparan. Ekornya dikibas-kibaskan, matanya melotot menatap si budak, minta dikasihani.
Di tangan budak itu ada tiga potong roti, kemudian si budak melempar satu potong rotinya diberikan kepada seekor anjing itu. Dengan lahapnya anjing itu memakannya sampai habis. Setelah habis, kembali anjing itu menengadahkan kepalanya ke budak itu, seolah-olah ingin menyampaikan bahwa dirinya masih lapar. Kembali budak itu melempar sepotong rotinya diberikan kepada anjing itu. Roti yang kedua pun habis dimakan anjing itu. Dan anjing itu ternyata masih menengadah untuk minta roti lagi. Dilemparkanlah satu-satunya roti yang tinggal di tangan budak itu, sehingga tidak ada lagi roti lain yang tertinggal di tangannya. Anjing itupun kenyang dan segera meninggalkan kebun, sedang si budak hitam tadi sudah tidak punya persediaan roti lagi. Si budak tersenyum melihat anjing itu pergi, dan bekas roti di telapak tangannya diusapkan di celananya.
Abdullah bin Ja’far yang duduk di bawah pohon itu melihat dan memperhatikan semua sikap dan perbuatan si budak terhadap anjing itu. Kemudian dipanggilnya budak hitam itu, dan ditanya, “Hai anak, berapa potong roti engkau mendapatkan jatah makan dari tuanmu dalam sehari?”.
Budak hitam itu menjawab, “Sebanyak yang bapak lihat tadi, tiga potong roti”.
“Mengapa engkau lebih pentingkan jatah makanan roti itu untuk anjing itu dari pada untuk dirimu sendiri?” tanya Abdullah bin Ja’far.
Dia menjawab. “Hamba melihat anjing itu bukan anjing sekeliling tempat ini, pasti anjing itu datang dari tempat jauh mengembara, dan saya tidak sampai hati melihat seekor anjing yang jalannya gontai, lidahnya kering dan tidak berdaya, dan sekiranya tidak aku tolong sepertinya anjing itu akan mati kelaparan”.
Abdullah bin Ja’far kembali bertanya. “Kalau begitu apa yang kamu makan hari ini anak muda?”
Dengan cepat si budak menjawab, “Biar hamba perketat tali ikat pinggang yang melingkar di perut hamba ini, saya rela tidak makan hari ini demi menyelamatkan seekor anjing yang sedang kelaparan”.
Mendengar jawaban budak yang begitu lugas, Abdullah bin Ja’far termenung dan berkata pada dirinya sendiri. “Sampai dimana aku yang dikenal seorang pemurah dermawan, padahal budak hitam ini sangat lebih pemurah dan lagi lebih dermawan dari padaku. Dia begitu rela, ikhlas memberikan jatah makanannya sehari kepada anjing, hanya karena tidak tega melihat seekor anjing yang hampir mati kelaparan”.
Airmata Abdullah bin Ja’far tanpa terasa membasahi mukanya, dan dimintanya budak itu menunjukkan tempat tinggal si pemilik kebun yang dipeliharanya itu. Setelah ketemu dengan pemilik kebun itu, ditawarnya kebun itu, dan setelah ada kesepakatan harga maka dibayarnya kebun itu. Kemudian ditawarnya pula harga si budak hitam beserta alat-alat perkebunannya, setelah terjadi kesepakatan harga maka dibayarnya pula.
Setelah selesai transaksi semuanya, maka didekatinya si budak itu lalu berkata. “Kebun ini beserta peralatannya sudah aku beli dari tuanmu dan engkaupun sudah aku beli pula dari tuanmu. Mulai saat ini aku merdekakan engkau dari perbudakan, dan aku hadiahkan kebun besarta peralatannya kepadamu. Hiduplah kamu dengan bahagia di dalam memelihara kebunmu ini “.
Si Budak begitu tercengang dan terharu mendengar perkataan Abdullah bin Ja’far itu, dia memandang begitu tinggi kedermawanan yang dimiliki oleh Abdullah bin Ja’far. Padahal Abdullah bin Ja’far sendiri memandang bahwa kedermawanan dan kemuliaan si budak itu jauh lebih tinggi dari pada kedermawan dan kemuliaan dirinya sendiri. Hidup memang kadang kala wang sinawang.
Kalau Abdullah bin Ja’far itu seorang dermawan hal itu wajar karena beliau adalah seorang yang berkecukupan. Tetapi si budak hitam ini, jangankan untuk orang lain, untuk menghidupi dirinya sendiripun masih sangat kurang, kadang makan – kadang tidak, tapi jiwa budak ini sangatlah kaya dan mulia sehingga dengan kesadaran dan keyakinan yang tinggi akan kasih sayang Tuhan maka dia mau memberikan sesuatu yang dia cintai kepada seekor anjing yang sedang kelaparan.
Bagaimana dengan kita?
Apakah mampu dan mau memberikan kelebihan yang kita punyai, yang kita cintai ini untuk membantu meringankan saudara-saudara kita yang sedang dalam kelaparan, sedang kesulitan dalam menyekolahkan anak-anaknya?
Sementara seringkali kita makan pun harus memilih- milih dan cenderung bersisa lalu dibuang ke tong sampah, padahal di sebelah rumah kita seorang anak kecil menangis semalaman karena harus menahan lapar. Kadang-kadang ketika kita berada di pusat perbelanjaan begitu ringannya merogoh uang dari dompet untuk membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan, sementara seorang anak di sebelah rumah duduk termenung tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak ada beaya. Seharusnya kita bisa seperti seorang budak hitam itu, bahkan lebih dari itu!
Salam,
Mustadi
(Ihya’ Ulumiddin – Imam Ghazali)