Renungan Jumat oleh Mustadihisyam
.
Ada kata-kata yang sering diucapkan orang khususnya orang Jawa, bahwa sering kali menyebut kalau dirinya sebagai “kawulaning Gusti” (hamba Allah). Sekiranya kita perhatikan, ada beberapa ciri-ciri orang yang layak disebut kawulaning Gusti. Salah satunya adalah seorang suami yang selalu berdoa kepada Tuhan:
” Rabbana hablana min aswajina, wadzuriyatina qurrata’ayun waj’alna lil muttaqina imamaa ”
Ya.. Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami ini, dari istri dan anak turun kami sebagai cahaya matahati kami (penyejuk hati kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa kepadaMu.
Doa ini mengandung arti yang sangat dalam sekali bagi seorang suami. Istri adalah segalanya dalam rumah tangga, mempunyai fungsi yang sangat luhur di hadapan suami, bukan sekedar konco sare atau kemul turu. Sehingga seorang suami yang mengaku dirinya sebagai kawulaning Gusti senantiasa tak henti-hentinya memohon kepada Tuhan semoga istri ini menjadi penyejuk hati, tamba sumpeking ati, memberikan kedamaian dalam hidup ini.
Kadang-kadang hidup ini penuh dengan tantangan, cobaan kesulitan, suka dan duka menjadi silih berganti. Sepulang kerja badan terasa capai, pikiran suntuk, tetapi begitu sampai di rumah bertemu istri dan anak terasa terobatilah kekesalan, kejenuhan hati ini, sang istri mampu menyejukkan hati ini. Suami boleh mempunyai berjuta-juta uang di sakunya, rumah megah dibelinya, mobil mewah didudukinya, tapi sekali lagi apa arti semua ini kalau didapati istri tidak setia. Suami maunya ke timur, sementara istri ke barat. Kalau hal ini terjadi di dalam rumah tangga, maka inilah yang disebut neraka kehidupan, sampai salah satunya meninggal dunia. Keseimbangan kemudi dalam rumah tangga merupakan kesatuan haluan dan tujuan.
“Hidup adalah jamaah, bukan nafsi-nafsi!” Dunia adalah perhiasan hidup, dan sebaik-baik hiasan dunia adalah istri yang shalih”,
Begitulah ucapan bijak dari seorang Rasul. Para sopir truk ada yang memahami doa ini dan ditulisnya di belakang bak truknya “Saya pergi demi sesuap nasi dan pulang karena istri”. Bukan main …indahnya kata ini! Saya harus belajar dari dia, pikirku. Dia menyadari rela hidup di atas putaran roda, menyusuri panjangnya jalan, panas, hujan demi mencari sesuap nasi, kalau sudah dia dapatkan dibawanya pulang karena ingat anak istri.
Itulah suami yang yang memahami makna dirinya sebagai hamba Allah = kawulaning Gusti. Ternyata menjadi kawulaning Gusti itu mboten gampil, bukan? Tidak segampang apa yang diucapkan.
Mekaten, matur nuwun.
Salam !
Pak Must,
Maturnuwun cerita indahnya. Idealnya begitulah kehidupan berkeluarga. Harmoni selalu menjadi impian dalam kehidupan manapun, dan inti kedamaian dunia itu berawal dari dalam hati masing2 anggota keluarga. Saya jadi ingat puisi bijak Confusius…harmony in the heart..
Semoga kita bisa mewujudkannya…amin.
Salam