Assalamu’alaikum wwb, selamat dan salam sejahtera semoga tercurah kepada sahabatku semua.
Beberapa waktu yang lalu, rekan Yanuarius mengeluhkan kondisi moral para elit penguasa ini kepada saya, intinya Om Yan prihatin dengan kebohongan, korupsi yang merajalela, dan lagi-lagi kasus perempuan – perempuan bohai yang menghiasi media saat ini.
Saya jadi teringat QS Al Isra’, 58 :
“Dan tidak ada satupun negeri, melainkan Kami akan membinasakannya sebelum hari kiamat. Atau Kami akan mengazabkan dengan suatu azab yang perih.”
Ngeri rasanya kalau kita memahami makna dari ayat ini, akibat ulah para penguasa elit negeri ini yang seharusnya menjadi saritauladan bagi masyarakat.
Ancaman kehancuran atau azab dari Allah ini wajar apabila nilai-nilai kebenaran tidak lagi diperhatikan, keadilan tidak dijunjung tinggi, yang berkuasa sudah berbuat sekehendak hati, lupa akan kekuasaan yang paling tinggi yaitu kekuasaan Allah.
Bahkan penguasanya telah mengangkat dirinya ke tempat Tuhan, merasa paling suci, paling bersih, paling kuasa, paling kaya sehingga bisa berbuat seenak hawanafsunya.
Soal-soal nilai budi dan rohani dicampakkan dan yang penting adalah benda, kekayaan-fulus fulus dan fulus. Karena ngumbar nafsu untuk memiliki money sehingga lupa kalau dirinya akhirnya menjadi seperti monkey, tak tahu malu, serakah, egois dan tak bisa menjaga kemaluannya. Apalagi kalau hubungan laki-laki dengan perempuan sudah leluasa saja, sehingga tak tahu siapa suami si anu, siapa suami si anu, semuanya kabur remang-remang penuh tandatanya. Gejolak hawanafsu manusia yang lebih gila dari binatang, merasa asal punya uang siapapun wanita cantik bisa dibelainya.
Kalau ulah yang kata mereka menamakan dirinya sebagai petinggi partai, pejabat negara, aparat pemerintah tapi kenyataannya ahlaq nya nol besar! Maka ancaman Allah negeri ini akan binasa bisa terjadi di negara yang kita cintai ini.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw berpesan kepada para sahabatnya: Ada tiga golongan manusia pada Hari Kiamat tidak disapa, tidak disucikan, tidak ditatap dan akan ditimpakan azam pedih.
Pertama : Orang tua yang berzina.
Allah benci kepada siapa pun yang berzina, tapi lebih benci kepada orang tua bangka yang berzina. Karena seorang yang sudah lanjut usia mestinya menjadi sumber kearifan, melindungi dan panutan masyarakatnya. Menjaga keharmonisan sosial dan keluarga serta semakin taqarrub kepada Allah. Sama halnya dengan seorang tua yang menikah, poligami lebih dari empat wanita atau menikahi dua orang bersaudara dalam waktu bersamaan. Allah melarang mendekati atau memfasilitasi perzinahan apalagi melakukannya, baik tersembunyi maupun terang-terangan.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk ” (QS. 17:32).
Kedua : Penguasa yang berdusta.
Allah SWT beci kepada siapa pun yang berdusta baik perkataannya maupun tingkahlaku, tapi lebih benci lagi kepada penguasa pendusta, karena ia akan merugikan dan mengombang ambingkan rakyatnya. Ia mengambil hak mereka, berbuat zhalim dan membuat kebijakan yang merugikan, khianat dalam kepemimpinannya. Ia memperkaya diri dan keluarganya, sementara rakyat mengalami kesusahan hidup, kelaparan dan kebodohan.
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? ” ( QS. 39:32 ).
Ketiga : Orang miskin yang sombong.
Allah benci kepada orang kaya yang sombong, tapi lebih benci lagi kepada orang miskin yang sombong, karena tidak ada yang patut disombongkan.
Jika orang kaya sombong, masih bisa dimengerti, meskipun hakekatnya ia juga miskin, karena yang didapatkan bukan miliknya, tapi milik Allah. Orang yang miskin harta, ilmu, kontribusi, ibadah dan lain-lain, namun sombong, itu namanya terlalu. Hanya Allah yang patut sombong (al-mutakabbir) dan Ia tidak suka kepada orang sombong lagi bangga diri.
Nabi saw pernah berkisah, kelak di Hari Pembalasan akan datang orang yang mengalami kebangkrutan pahala, karena seluruh pahala ritualnya terkuras untuk membayar dosa sosialnya. Bahkan, jika pahala ritualnya habis, sementara dosa sosialnya masih ada, maka dosa-dosa dari orang yang diperlakukannya buruk, akan ditimpakan kepadanya hingga ia masuk ke dalam neraka. (HR. Muslim).
Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar daripada dimensi ritual dengan tiga alasan:
- Pertama, ciri-ciri orang beriman atau bertakwa lebih banyak ibadah sosialnya. (QS. 23:1-11).
- Kedua, jika ibadah ritual bersamaan dengan ibadah sosial, maka didorong untuk mendahulukan yang sosial. Misalnya, Nabi saw pernah melarang seorang imam membaca surat panjang dalam shalat berjamaah.
- Nabi saw juga pernah memperpanjang sujudnya karena cucunya bermain dipundaknya.
- Ketiga, kalau ibadah ritual cacat, dianjurkan untuk berbuat sesuatu yang bersifat sosial.
Contoh melanggar larangan puasa harus ditebus dengan memberi makan fakir miskin. Sebaliknya, jika ibadah sosial yang rusak, tidak bisa diganti dengan ibadah ritual. Orang melakukan korupsi, melakukan kebohongan puplik tidak bisa diganti dengan puasa, zikir atau membaca al-Qur’an. Ketiga golongan manusia yang tidak disapa Allah SWT tersebut di atas, adalah orang-orang yang melakukan dosa sosial, bukan dosa individual.
Perbuatan buruk mereka telah merugikan dan menghinakan orang lain, baik secara moril, material maupun masa depan. Jika dosa individual, ampunannya hanya berkaitan dengan Sang Khalik. Tapi, dosa sosial tidak terampuni jika orang-orang yang telah dianiaya belum memaafkan. Maka sepatutlah jika Allah tak berkenan menegur sapa, menyucikan, menatap bahkan mengazab di Hari Pembalasan.
Semoga kita termasuk hamba Allah yang senatiasa berdzikir kepada Allah, yaitu setiap kita melakukan aktifitas dimanapun berada, dirumah ataupun ditempat kerja selalu kita menghadirkan Tuhan, Dia melihat setiap perbuatan kita. Dengan demikian semoga kita senantiasa termasuk orang yang tersebut dalam QS Nahl :50
“Mereka sangat takut kepada Tuhan mereka yang Maha Kuasa diatas mereka, dan mereka pun melaksanaan segala yang diperintah “.
Wallahualam bi ash shawab.
(ref: Hasan Basri MA)