Konsumsi pangan manusia saat ini terbatas pada beberapa jenis tanaman pangan. Secara global, 80 persen total asupan energi diperoleh hanya dari 12 spesies. Delapan diantaranya berasal dari jenis serealia seperti jagung, padi, rye, millet, barley, sorogum, tebu, dan gandum. Sementara empat lainnya dari jenis umbi-umbian yaitu singkong, kentang, ubi jalar, dan yam.
Ketergantungan pada beberapa jenis bahan pangan tersebut berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan. Salah satunya ketergantungan pada sedikit sumber gizi yang dapat meningkatkan risiko menderita penyakit degeneratif karena pola makan yang kurang bervariasi. Selain itu, apabila terjadi gangguan pada budidaya dan suplai tanaman pangan tertentu akan memunculkan bencana kelaparan dunia.
“Sangat disayangkan banyak terjadi kasus kelaparan ditengah keberlimpahan sumber daya pangan lokal yang sebenarnya bisa dimanfaatkan namun tidak tergali,” kata Prof. Dr.Ir. Eni Harmayani, M.Sc., saat menyampaikan pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Selasa (31/12) di Balai Senat UGM.
Menurutnya kekayaan pangan lokal yang ada apabila dikembangkan dapat menjadi aset yang memiliki andil besar dalam perekonomian dan kedaulatan pangan Indonesia. Misalnya saja umbi-umbian seperti singkong, ubi jalar, garut, uwi, gembili, dan bengkoang yang keberadaannya cukup melimpah di Indonesia mempunyai potensi dikembangkan sebagai pangan pokok maupun sebagai pangan fungsional. Pengembangan umbi-umbian sebagai pangan lokal diharapkan mampu mengurangi defisit impor terigu serta menjadi komponen pangan fungsional.
“Impor pangan Indonesia sangat besar. Hal ini menunjukkan lemahnya kemandirian dan kedaulatan pangan bangsa. Melalui penyediaan umbi-umbian skala besar bisa menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan penyediaan pangan ini. Di samping itu, umbi-umbian terbukti berpotensi sebagai sumber prebiotik untuk meningkatkan saluran cerna dan sistem imun,” jelasnya.
Dalam pidato berjudul Penguatan Kedaulatan Pangan Melalui Pengembangan Prebiotik dari Umbi-Umbian Lokal, Harmayani mengungkapkan tidak sedikit anggapan yang masih beredar di masyarakat tentang umbi-umbian sebagai makanan kelas dua sehingga kurang diminati. Namun, dengan strategi pengembangan umbi-umbian sebagai pangan fungsional diyakini bisa meningkatkan posisi umbi-umbian. Harapannya, umbi-umbian dapat menjadi pangan pilihan yang bernilai tinggi dengan berbagai aplikasi, bukan sekedar sebagai alternatif pengganti terigu. Misalnya sebagai bahan utama maupun bahan pendukung untuk produk-produk bakery,snack, biskuit, mie, bakso, bubur, sosis, nugget, serta sebagai bahan penyalut, pengental, maupun pengisi.
“Industri makanan, pasar mie, dan biskuit di Indonesia cukup besar. Dari segmen biskuit, jenis cookies, wafer, dan crackers menyumbang kontribusi terbesar sebanyak 85 persen. Karenanya potensi pengembangan cookies yang mengandung prebiotik dari umbi-umbian lokal cukup besar,” papar wanita kelahiran Yogyakarta, 9 Juni 1963.
Melihat besarnya potensi aplikasi tepung dan pati umbi-umbian lokal pada berbagai produk pangan, dituturkan Harmayani, pengembangan industri tepung umbi-umbian nantinya dapat menggeser kedudukan tepung terigu. Ia pun meyakini industri ini sangat menjanjikan mengingat semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Kendati begitu, dalam pengembangannya perlu sinergi antarpenyedia bahan baku, teknologi proses yang dapat mengolah umbi-umbian secara efisien menjadi pangan fungsional, kebijakan pemerintah, serta dukungan ilmiah akan manfaat kesehatan dan pemenuhan tuntutan konsumen yang beragam.
“Potensi Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati membuka peluang inovasi pengembangan pangan fungsional di masa datang untuk kebutuhan domestik maupun pasar global,” pungkasnya.
Sumber: Humas UGM/Ika
Saya juga heran Indonesia yang luas, subur dan kaya keanekaragaman hayati kenapa masih saja impor pangan mulai dari beras, jagung bahkan akhir-akhir ini singkong. Visi mbak Maya ini mudahan bisa membuka mata pengambil kebijakan di negeri ini untuk memberi perhatian yang lebih baik lagi di sektor pangan, sehingga tidak perlu impor lagi. Selamat untuk mbak Maya semoga sukses dalam pengabdian pada negeri ini …… sekali sukses amiin
Terimakasih mas Sunarno comment dan doanya. Iya, kita mungkin kurang pandai dan ‘all out’ dalam mengelola anugerah Tuhan berupa keanekaragaman hayati yang tinggi. Bisa2 apa yg kita banggakan itu menjadi cerita masa lalu. Diperlukan kerja nyata dan sinergi banyak pihak. Saiyek saekoproyo.. bukan cuma umyek… Salam dari Jogja. Nuwun Yudi telah memposting di blog.
Turut bangga & berbahagia atas prestasi serta sumbangsih rekan Maya… Semoga istiqomah dalam berkarya, mengharumkan nama almamater, keluarga & bangsa. Wish U All the best….. salam kompak Kasmaji’81