Mengakui Kesalahan

mustadi2[Renungan Jumat] oleh Mustadihisyam

.

Semua manusia pernah melakukan kesalahan, Nabi sekalipun. Karena lupa, khilaf, dan salah sangat melekat pada kedirian manusia. Dan, tindakan tidak mau mengakui kesalahan dan berusaha memperbaikinya merupakan hal yang paling aneh. Sebenarnya, mengakui kesalahan merupakan sebuah pintu dari dinding pembatas antara dua ruangan; kebaikan dan keburukan.

Jika seseorang tidak mau mengakui salahnya, berarti dia masuk dari pintu itu ke ruangan kejahatan. Sebaliknya, jika seseorang mau mengakui dosanya, berarti dia membuka pintu itu untuk masuk ke ruangan kebaikan. Allah sendiri mengatakan bahwa salah satu ciri orang-orang bertakwa adalah mau mengakui kesalahan dan minta ampun kepada Allah, kemudian dia tidak lagi mengulanginya, Dan (salah satu dari orang yang bertakwa itu) adalah orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?

Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu (QS Ali Imran [3]: 135).

Mengaku bersalah tidak membuat seseorang kehilangan kehormatan, bahkan sebenarnya merupakan upaya paling efektif menyelamatkan nama baik. Menyadari dosa dan bertekad tidak akan mengulangi lagi adalah salah satu pintu masuk menjadi manusia terbaik. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi yang umum telah berbuat kejahatan di masa lalu.

Orang yang tidak mau mengakui kejahatannya berarti menjeratkan dirinya pada mata rantai dosa yang tiada berujung. Perbuatan menutupi kesalahan pasti akan diikuti dengan usaha menghilangkan barang bukti, dengan cara apa pun. Bisa jadi hal itu dilakukan dengan berdusta, memfitnah, menyuap, meneror, bahkan membunuh sekalipun. Jika usaha menghilangkan bukti ini membuahkan bukti baru, misalnya diketahui orang lain, maka bukti baru itu juga harus dilenyapkan. Begitulah seterusnya. Tak dapat dibayangkan berapa banyak dosa turunan yang harus dikerjakan. Orang bersalah akan terus diburu kesalahannya. Hanya taubat yang membuat semua itu berakhir. Bagi pelaku dosa, dunia menjadi semakin sempit dan tidak ada tempat yang nyaman. Memang tidak enak hidup dalam kurungan yang dibikin sendiri.

Wallahu a’lam bis shawab.

10 Replies to “Mengakui Kesalahan”

  1. Betapa damainya dunia ya Pak Must kalau umat di dunia ini mau saling meminta maaf dan memberi maaf. Kita mulai yuk dari diri kita sendiri dalam keluarga, teman, tetangga dst… Matur nuwun.

  2. Gus Mus, apa kabar? Mau sharing dikit aja.

    Berbicara mengenai kesalahan pada garis besarnya bisa dikelompokkan menjadi kesalahan terhadap Sang Pencipta (Tuhan) dan kesalahan kepada Ciptaan. Mengenai kesalahan kepada Ciptaan mungkin pendapat Mahatma Gandhi ini dapat menjadi bahan diskusi.

    Beliau berpendapat ada 7 Dosa Sosial;
    1. Kekayaan tanpa kerja
    2. Kenikmatan tanpa suara hati
    3. Pengetahuan tanpa karakter
    4. Bisnis tanpa moralitas
    5. Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan
    6. Agama tanpa pengorbanan
    7. Politik tanpa prinsip.

    Dosa kepada pencipta dapat ditebus dengan taubatan nashuha tapi dosa sosial tidak dapat hapus tanpa maaf dari orang atau apapun yang padanya dosa tersebut dilakukan,

    Menyakiti tetangga tidak bisa hapus tanpa mohon maaf ke tetangga, mencaci orang tidah bisa beres tanpa maaf dari yang di caci, menggunjing pun demikian, korupsi, penggundulan hutan dst yang semuanya merupakan dosa-dosa sosial. Gandhi punya tujuh kriteriadi atas. Monggo kalau ada yang meramaikan diskusi???

  3. Wah mulai seru, nih!

    Om Fahmi saya kira mau menyitir hadits Rasulullah, ternyata malah menyitir “hadits Gandhi”, jadi saya tambah lagi wawasan.

    Kalau menurut saya (mohon dikoreksi kalau salah), semua bisa dimuarakan menjadi hubungan vertikal manusia dgn Tuhannya (habluminallah) dan hubungan horizontal manusia dgn manusia atau makhluk ciptaan yg lain (habluminannas). Bagaimana kalau kesalahan terhadap binatang atau alam (tumbuhan, hutan, dsb)? Tentu saja kita tidak harus minta maaf pada binatang atau pohon, tapi langsung mohon ampun kepada Sang Pencipta (Allah) dan berusaha sedapat mungkin memperbaiki akibat atau kerusakan yang ditimbulkan.

    Tentang habluminallah & habluminannas sudah pernah saya tulis di posting sebelumnya. Sebenarnya habluminannas ini dalam rangka habluminallah juga, karena segala norma dan aturan kehidupan ini sudah ditentukan oleh Allah. Jadi kalau manusia berbuat baik kepada sesama, tidak melakukan perusakan terhadap alam, dsb, adalah dalam rangka patuh dan tunduk kepada Allah, karena Allah memang memerintahkan begitu. Maka kalau di dunia ini aturan yang dipakai adalah aturan bikinan manusia yang tidak bersandar pada aturan Allah maka biasanya hanya akan menghasilkan kerusakan & kemudharatan.

    Demikian dulu, udah waktu Maghrib nih…
    wassalam,

  4. Ibaratnya sebuah motor rusak ataupun kotor, yg bisa membersihkan ataupun memperbaiki adalah yang menciptakan motor yaitu manusia. Begitupun manusia, “kotor” maupun “rusak” yang bisa membersihkan ataupun memperbaiki adalah Yang Maha Menciptakan manusia.

    Permasalahannya bagaimana Sang Pencipta manusia Kersa/Mau membersihkan ataupun mereparasi kerusakan yg terjadi pada manusia itu tadi dan harus bagaimana si manusia itu sendiri sewaktu “sedang” dibersihkan/direparasi oleh Sang Penciptanya.

    Salam,
    Ady

  5. Alhamdulillah… mas Didiet

    Bener emang semuanya pasti kembali kepada Allah, namun peleburan dosa yang telah dilakukan bukan dalam pengertian individu pelakunya saja tetapi harus meliputi penghapusan zatnya, penyebabnya serta dampak yang terjadi, karena yang namanya taubatan nasuha itu harus tuntas.

    Ini saya kutipkan pernyataan Ali bin Abi Thalib tentang syarat taubat. Imam Ali bin Abi Thalib, dalam Nahj al-Balaghah, taubat tidak boleh diartikan hanya sekedar mengucap astaghfirullah, tapi mesti memenuhi enam unsur utama.

    1. penyesalan atas kesalahan.
    2. tekad untuk tidak mengulanginya;
    3. mengembalikan hak-hak makhluk yang pernah dirampas;
    4. memenuhi kewajiban yang pernah dilalaikan;
    5. membereskan daging tubuh yang pernah ditumbuhkan oleh sesuatu yang haram dengan membiarkan hanya kulit yang melekat di tulang, yang kemudian akan menumbuhkan daging baru;
    6. membuat tubuh merasakan pedihnya dalam ketaatan sebagaimana tubuh pernah merasakan manisnya kemaksiatan.

    Bagaimana?

  6. Sangat setuju om Fahmi !
    cuma saya agak merinding membayangkan syarat taubat yg ke 5 dari Imam Ali :
    “membereskan daging tubuh yang pernah ditumbuhkan oleh sesuatu yang haram dengan membiarkan hanya kulit yang melekat di tulang, yang kemudian akan menumbuhkan daging baru;”
    akan sanggupkah kita melakukannya? bagaimana dgn orang yg korupsi, misalnya? apakah mereka disuruh puasa dulu bertahun2 hingga kurus kering baru boleh makan makanan yg didapat secara yg halal?
    hii, gak kebayang deh…

  7. Ass wr wb,

    Siapa? Mustadi? oh yang jagoan lari sprint itu ya…. wah hebat sekarang tausyiahnya sudah setaraf AA Gym, Yusuf Mansyur. Tak di nyana… saya ngikuti diskusi tentang mengakui kesalahan..emang bener, manusia itu walaupun salah klihatannya berat juga disuruh ngakuin kesalahan…apalagi kalau sudah kecampuran gengsi dan takut kehilangan prestise…Fahmi alkaf..halo gimana nih kabarnya? posisi skg dimana? kita pernah sekelas lho? ulasannya cerdik sekali ya..merangsang orang untuk berkomentar…aku mau menyaksikan aja para ahli bercengkerama, soale ilmunya belum nyampe kedalaman yang pantas. ayo terus berlanjut yo…
    Ketemu teman2 SMA walaupun virtual, bisa membuat jiwa kita tambah muda lho….

    Wass
    Aris

  8. setelah seseorang tersudut dan mengakui kesalahan ya apakah masih bisa dimaaf kan…?

    kesalahan yg dilakukan seseorang tersebut diakui dan dia benar2 minta maaf dan bejanji tidak akan mengulangi nya bagai mana…?

  9. Ikutan dunk….
    Aku tertarik dg comment terakhir dr “Joni” :
    setelah seseorang tersudut dan mengakui kesalahan ya apakah masih bisa dimaaf kan…? kesalahan yg dilakukan seseorang tersebut diakui dan dia benar2 minta maaf dan bejanji tidak akan mengulangi nya bagai mana…?
    Spt kata kang Didiet, habluminannas muara akhirnya juga habluminallah…
    jadi, ketika kita berupaya untuk mengakui kesalahan, memohon maaf kepada makhluk, berusaha melakukan perbaikan, jangan lupa juga mohon ampunan, petunjuk dan kekuatan dari Sang Maha Segalanya..
    supaya kita teguh dalam upaya mengusahakan perbaikan, supaya kita ditunjuki jalan terbaik untuk mengupayakannya, supaya kita diberi kekuatan, supaya kita tidak mengulanginya…. Dan bila dalam upaya tersebut kita mengalami “hambatan2” seperti tak semudah itu mendapatkan maaf, tak semudah itu melakukan perbaikan, jangan putus asa… Laa hawla wa laa quwwata illaa billah…
    kpada makhluknya yg asik bergelimang dosa saja Allah tetap Maha Pemurah, apalagi kepada makhluknya yg sedang mengupayakan perbaikan, insya Allah
    Bner bgt kan Mustadi mbahas masalah ini… musti bikin PSA nih kang, campaign gerakan berani mengakui kesalahan… Karena kliatannya, sikap kebalikannya udah jadi penyakit yg nge-trend d masyarakat…dan jadi sumber penyakit2 yg lebih besar…
    Klu boleh mengajak, campaign “berani mengakui kesalahan” ini setelah aplikasi ke diri kita sendiri tentunya, mari kita galakkan dan tularkan terutama ke anak2 kita, para generasi penerus…dan cara yang paling efektif adalah keteladanan. Termasuk walaupun dalam posisi sebagai ortu, kita tunjukkan bahwa kalau kita melakukan kesalahan kepada mereka anak2 kita, kitapun berani bersikap kesatria, meminta maaf…Insya Allah, ketika mereka terjun ke masyarakat, hal tersebut sudah menjadi “habit” mereka…
    Salam

Leave a Reply to Didiet Priatmadji Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp chat