[Prawacana] Banyak artikel bagus beredar secara broadcast di media sosial. Mungkin telah Anda tandai pula sebagai starred message(s) di WhatsApp. Kami mengumpulkannya dalam satu kategori “Brodkes Sosmed” agar memudahkan saat ingin membaca kembali.
Sahabats, ini copas puanjang banget, ning apik isine, muga-muga ora padha kemropok. Yang masih bingung antara hutang piutang (qardh) dan kerjasama (mudhorobah; musyarokah), silahkan disimak ilustrasi berikut:
?? Gimana kabarnya mbak?
?? Sehat dek, alhamdulillah.
?? Ini saya selain silaturahmi juga ada perlu mbak.
?? Apa apa dek…apa yang bisa saya bantu?
?? Anu..kalau ada uang 20juta saya mau pinjam.
?? Dua puluh juta? Banyak sekali. Untuk apa dek?
??Tambahan modal mbak. Dapat order agak besar, modal saya masih kurang. Bisa bantu mbak?
?? Mmm.. mau dikembalikan kapan ya?
?? InsyaAllah dua bulan lagi saya kembalikan.
?? Gitu ya. Ini mbak ada sih 20juta. Rencana untuk beli sesuatu. Tapi kalau dua bulan sudah kembali ya gak apa-apa, pakai dulu aja.
?? Wah, terimakasih mbak.
?? Ini nanti mbak dapat bagian dek?
?? Bagian apa ya mbak?
?? Ya kan uangnya untuk usaha, jadi kan ada untungnya tuh. Naa.. kalau mbak enggak kasih pinjem kan ya gak bisa jalan usahamu itu, iya kan? *tersenyum penuh arti
?? Oh, bisa-bisa. Boleh saja kalau mbak pengennya begitu. Nanti saya kasih bagi hasil mbak.
?? Besarannya bisa kita bicarakan. Lha, gitu kan enak. Kamu terbantu, mbak juga dapat manfaat.
?? Tapi akadnya ganti ya mbak. Bukan hutang piutang melainkan kerjasama.
?? Iyaa.. gak masalah. Sama aja lah itu. Cuman beda istilah doang.
??Bukan cuma istilah mbak, tapi pelaksanaannya juga beda.
??Maksudnya??
??Jadi gini mbak: kalau akadnya hutang, maka jika usaha saya lancar atau tidak lancar ya saya tetap wajib mengembalikan uang 20juta itu. Tapi jika akadnya kerjasama, maka kalau usaha saya lancar, mbak akan dapat bagian laba. Namun sebaliknya, jika usaha tidak lancar atau merugi maka mbak juga turut menanggung resiko. Bisa berupa kerugian materi→uangnya tidak bisa saya kembalikan, atau rugi waktu→ kembali tapi lama.
??Waduh, kalau gitu ya mending uangnya saya deposito kan tho dek: gak ada resiko apa-apa, uang utuh, dapat bunga pula.
?? Itulah riba mbak. Salah satu ciri-cirinya tidak ada resiko dan PASTI untung.
??Tapi kalau uangku dipinjam si A untuk usaha ya biasanya aku dapet bagi hasil kok dek. 2% tiap bulan. Jadi kalau dia pinjam 10juta selama dua bulan, maka dua bulan kemudian uangku kembali 10juta+400ribu.
??Itu juga riba mbak. Persentase bagi hasil ngitungnya dari laba, bukan berdasar modal yang disertakan. Kalau berdasar modal kan mbak gak tau apakah dia beneran untung atau tidak. Dan disini selaku investor berarti mbak tidak menanggung resiko apapun donk. Mau dia untung atau rugi mbak tetep dapet 2%. Lalu apa bedanya sama deposito?
?? Dia ikhlas lho dek, mbak gak matok harus sekian persen gitu kok.
?? Meski ikhlas atau saling ridho kalau tidak sesuai syariat ya dosa mbak.
?? Waduh…syariat kok ribet bener ya.
?? Ya karena kita sudah terlanjur terbiasa dengan yang keliru mbak. Memang butuh perjuangan untuk mengikuti aturan yang benar. Banyak kalau tidak berkah bikin penyakit lho mbak.hehe.
?? Hmmm…ya sudah, ini 20jutanya hutang aja. Mbak gak siap dengan resiko kerjasama. Nanti dikembalikan dalam dua bulan yaa.
?? Iya mbak. Terimakasih banyak mbak. Meski tidak mendapat hasil berupa materi tapi insyaAllah mbak tetap ada hasil berupa pahala. Amiiin..
▶▶▶▶▶▶
Kalau cuma bicara anti riba…. burung beopun juga bisa. Kalau cuma diskusi masalah ekonomi umat… ngobrol sama balita yang baru belajar bicara jauh lebih menarik. Ayuuu hidupkan ekonomi mikro.. berikan pancingan bukan ikan. Investasi dunia akhirat
Notes :
Perhatikan dalam bisnis. Ini “akad kerjasama” atau “akad peminjaman uang”? Dua hal ini berbeda dalam hukum Islam. Efeknya di dunia dan akhirat pun berbeda. Ingatlah “…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.Al-Baqarah:275)
Sebenarnya apa sih tujuan Islam melarang riba? Seharusnya ‘kan asal saling sepakat, saling rela, tidak kena dosa?
Hukum islam itu dibuat untuk mengatur agar manusia mendapatkan kemaslahatan sebesar-besarnya tanpa manusia merugikan siapapun sekecil-kecilnya.
Mari kita bahas contoh LABA dan RIBA agar anda mudah untuk memahami dengan bahasa yang umum:
- Saya membeli sebuah sepeda motor Rp. 10 Juta dan saya hendak menjual dengan mengambil untung dengan bunga 1% perbulan untuk jangka waktu pembayaran 1 tahun. Transaksi seperti ini tergolong transaksi RIBAWI.
- Saya membeli sepeda motor Rp. 10 juta, dan saya hendak menjual secara kredit selama setahun dengan harga Rp. 11.200.000,-. Transaksi ini termasuk transaksi SYARIAH.
Apa bedanya? Kan kalau dihitung-hitung ketemunya sama? Untungnya Rp. 1.200.000?
Mari kita bahas kenapa transaksi pertama riba dan transaksi kedua syar’i.
TRANSAKSI PERTAMA RIBA karena:
- Tidak ada kepastian harga, karena menggunakan sistem bunga. Misal dalam contoh di atas, bunga 1% perbulan. Jadi ketika dicicilnya disiplin memang ketemunya untungnya adalah Rp. 1.200.000,-. Tapi coba kalau ternyata terjadi keterlambatan pembayaran, misal ternyata anda baru bisa melunasi setelah 15 bulan, maka anda terkena bunganya menjadi 15% alias labanya bertambah menjadi Rp. 1.500.000,- Jadi semakin panjang waktu yang dibutuhkan untuk melunasi utang, semakin besar yang harus kita bayarkan. Bahkan tidak jarang berbagai lembaga leasing ada yang menambahi embel-embel DENDA dan BIAYA ADMINISTRASI, maka semakin banyak riba yang kita bayarkan. Belum lagi ada juga yang menerapkan bunga yang tidak terbayar terakumulasi dan bunga ini akhirnya juga berbunga lagi.
- Sistem riba seperti di atas jelas-jels sistem yang menjamin penjual pasti untung dengan merugikan hak dari si pembeli. Padahal namanya bisnis, harus siap untung dan siap rugi.
TRANSAKSI KEDUA SYARIAH karena:
- Sudah terjadi akad yang jelas, harga yang jelas dan pasti. Misal pada contoh sudah disepakati harga Rp. 11.200.000,- untuk diangsur selama 12 bulan.
- Misal ternyata si pembeli baru mampu melunasi utangnya pada bulan ke-15, maka harga yang dibayarkan juga masih tetap Rp. 11.200.000,- tidak boleh ditambah. Apalagi diistilahkan biaya administrasi dan denda, ini menjadi tidak diperbolehkan.
Kalau begitu, si penjual jadi rugi waktu dong? Iya, bisnis itu memang harus siap untung siap rugi. Tidak boleh kita pasti untung dan orang lain yang merasakan kerugian.
Nah, ternyata sistem Islam itu untuk melindungi semuanya, harus sama hak dan kewajiban antara si pembeli dan si penjual. Sama-sama bisa untung, sama-sama bisa rugi. Jadi kedudukan mereka setara. Bayangkan dengan sistem ribawi, kita sebagai pembeli ada pada posisi yang sangat lemah.
Nah, sudah lebih paham hikmahnya Allah melarang RIBA?
Kalau menurut anda informasi ini akan bermanfaat untuk anda dan orang lain, silakan share status ini, untuk menebar kebaikan.
Dakwah anda hanya dengan meng-KLIK SHARE/BAGIKAN, maka anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share anda, dan juga jika dishare lagi anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share kawan anda. Mungkin lebih tepatnya MULTI LEVEL PAHALA, Hehehe
Mudah khan cari pahala? Mudah tapi tak semua yang membaca status ini mau men-share, ada bisikan syetan: “Ga usah dishare, ngapain disuruh share mau aja……”
Iya, memang syetan dengan bisikan halusnya di dalam sanubari kita, mengajak untuk malas untuk menebar kebaikan.
Semoga bermanfaat
*Diteruskan kembali oleh Zainuddin Subagyo – Grup WA Kasmaji81 (13/08/2016) dari kamar sebelah (sumber “Riba Crisis Centre”).
Sangat terinspirasi dengan kisah diatas. Tulisanku ini terilhami oleh penjelasan diatas. Semoga memudahkan kita memahami riba dan semakin fight memeranginya. Aamiin.. https://hafidhmind.wordpress.com/2017/03/24/riba-versus-kerjasama-dalam-bingkai-prinsip-ekonomi-islam/