.
Kemarin pulang kantor sdh jam 19.30, pas menjelang Pancoran dari arah Semanggi, ada tukang topeng monyet di pinggir kanan jalan, tepatnya di kolong jembatan layang dekat pintu masuk tol menjelang Pancoran. Selang beberapa meter ada lagi, lalu ada lagi, total ada 3 monyet yang sempat kuperhatikan (gak bisa terlalu perhatikan monyet di pinggir jalan, karena konsentrasi harus ke jalan yang cukup padet dengan mobil dan motor).
Topeng monyet atau ledhek kethek di Jateng, atau tanjak (tandhak) bedhes di Jawa Timur, semacam sirkus tradisional kelas rakyat dengan memanfaatkan monyet sebagai pemain utama, kadang ditambah anjing kadang juga juga ular. Musiknya cukup bedug kecil ada yang plus “centhe”. Para pemain sirkus & alat musik cukup diangkut dengan pikulan, kecuali anjing, disuruh jalan sendiri (kasian deh, lu!). Kalau di kampung-kampung topmon (topeng monyet) selalu digemari anak-anak (dan juga orang dewasa) karena tingkah monyet yang menirukan manusia sungguh menggelikan (dan ternyata ulah manusia menirukan tingkah monyet juga tak kalah lucu – mis Tukul..).
Monyet & konco2nya memang selalu cespleng untuk menarik perhatian. Di dunia iklan konon bahkan mampu menyaingi bintang iklan cantik Luna Maya! Mungkin karena ini pula dulu Darwin begitu tersepona dgn simon (si monyet) sampai membuat teori bahwa manusia masih satu kerabat dgn monyet, meski belakangan dia sendiri yang bingung karena terlalu banyak missing link.
Bagi kita umat beragama yg bertuhan tentu menolak teori ini karena Allah mengajarkan bahwa kita adalah keturunan manusia pertama yaitu Nabi Adam & bukan keturunan primata berkaki 4. Ironisnya, di negara kita tercinta yang katanya berketuhanan Yang Mahaesa ini, teori ngawur ini masih tetap diajarkan di sekolah-sekolah!
Kembali ke topmon, tapi di balik kelucuan tersebut sebenarnya menyimpan kisah sedih dari para bintang panggung jalanan tersebut. Coba perhatikan, mereka semua selalu dirantai bahkan sewaktu beraksi di panggung, ada yang rantainya diikat di perut dan sebagian besar di leher! Kalau si monyet keasikan beraksi terlalu jauh maka sang sutradara tanpa rasa kasihan akan menarik rantai yang akan membuat si monyet hampir terjengkang karena ditarik lehernya. Benar-benar di luar perikebinatangan dan ini merupakan pelanggaran HAH (Hak-hak Azasi Hewan) yang serius!. Jangan tanya soal gizi mereka, kemungkinan besar juga memprihatinkan mengingat net income dari tiap show tentunya kecil sekali, dan sebagian besar (atau hampir semuanya) tentu dialokasikan buat sang sutradara. Lha wong sutradaranya saja kelaparan gimana monyetnya coba!
Maka kalau diperhatikan raut muka mereka (monyet-monyet tsb) selalu terkesan sedih, gak pernah senyum (he..he.. ini pengamatan pribadi aja). Bosen masuk keluar kampung kini topmon mulai manggung di keramaian kota, tepatnya pinggir-pinggir jalan raya atau lebih seringnya di lampu2 merah. Di Bandung yang sering kulihat di perempatan dekat hotel Horizon, beberapa meter dari bakso ceker yang pembelinya harus ngantri pakai nomor absen (maaf belok ke wisata kuliner lagi…), di Jakarta di beberapa tempat (lupa namanya) sampai ketemu yang semalam.
Gejala apa ini ya?