Untuk-Nya Cukup Sisa Waktu

oleh Galih Ari Permana dikutip oleh Didiet Priatmadji untuk milis Kasmaji 81

.

Entah untuk yang ke berapa kali pagi itu shalat subuh si Fulan tertinggal untuk berjamaah. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 pagi dan pada jam segitu masjid sudah barang tentu kosong dari jemaah. Kemudian dengan mata yang masih sepet Fulan beranjak untuk mengambil air wudhu dan dilanjutkan dengan shalat subuh secara munfarid. Saking seringnya tidak ada perasaan sesal yang singgah di benak Fulan ini. Seolah hal yang wajar apabila shalat subuh dikerjakan pukul 05.30 pagi.

Bukan hanya itu, sebagai orang yang tinggal di kota yang padat dengan aktivitas mengharuskan untuk selalu berburu dengan waktu. Otomatis selepas shalat subuh sendirian tidak bisa melakukan dzikir pagi karena harus segera merapikan diri untuk berangkat kerja, apalagi baca quran, satu ayat pun tidak akan keburu.

Tapi entah kenapa untuk masalah pekerjaan Fulan selalu berusaha untuk tepat waktu masuk kantor. Jam masuk kantornya adalah jam delapan pagi dan Fulan sering sampai disana sebelum jam delapan. Setiap pergi ke kantor Fulan selalu berusaha untuk tampil rapi dan wangi dan hal ini sangat bertolak belakang dengan aktivitasnya ketika bangun tidur. Aktivitas shalat subuh Fulan cukup dengan menggunakan pakaian tidur, tanpa gosok gigi, apalagi wangi-wangian. Intinya yang penting kewajiban sudah gugur.

Sebagai seorang karyawan Fulan selalu mendedikasikan dan mengerjakan segala tanggung jawabknya dengan sungguh-sungguh dan senang hati. Hal ini diperlukan agar kinerjanya baik yang akan berakibat bagusnya karir di kemudian hari. Karir bagus akan berbanding lurus dengan penghasilan tentunya. Boleh di bilang Fulan ini seorang yang perfectionist. Apabila terjadi suatu kesalahan, Fulan akan dengan segera menelusuri akar penyebab masalahnya dan mencari solusi terbaik sehingga masalah ini tidak muncul lagi.

Pada jam istirahat, selepas makan siang, biasanya Fulan asyik ngobrol dengan teman-teman kerjanya. Biasanya Fulan shalat Dzuhur lima menit menjelang bel masuk berbunyi. Walhasil shalat dzuhur yang dikerjakannya sangat minim waktunya. Dari mulai wudhu pun terlihat terburu-buru. Maka selepas salam Fulan langsung kembali bekerja. Tidak ada dzikir ataupun shalat ba’diyah dzuhur.

Gambaran di atas bisa jadi merupakan refleksi dari rutinitas harian kita. Di sadari atau tidak terkadang kita tidak adil dalam menyikapi urusan dunia dan akhirat. Meski kita sering mengatakan bahwa dalam hidup ini harus seimbang antara dunia dan akhirat kita. Tapi, tanyalah ke dalam lubuk hati ini, benarkah perkataan itu? Benarkah kita sudah memposisikan timbangan dunia dan timbangan akhirat pada posisi yang sama tinggi jika takarannya harus seimbang?

Kalau boleh jujur kita lebih cenderung memperhatikan kepeluan dunia kita. Dalam arti nilai-nilai agama jarang sekali dilibatkan dalam seluruh aktivitas kita.

Dalam pekerjaan kita sering berusaha untuk datang tepat waktu. Jika sekali saja terlambat maka keesokan harinya akan bangun dan berangkat lebih awal agar tidak terlambat lagi. Tapi kita jarang sekali khawatir karena telah mengakhirkan shalat, bahkan kalau sedang asyik biasanya kita dengan tenang meninggalkan kewajiban tersebut tanpa ada sesal yang singgah di hati.

Kita selalu berpenampilan rapi, harum dan segar setiap pergi ke kantor. Kita selalu memberikan penampilan terbaik dalam bekerja bahkan memakai seragam sesuai peraturan perusahaan. Namun dalam sujud kepada Alloh kita cukup memakai kaos oblong dan sarung seadanya. Bahkan hal yang wajar memakai pakaian yang terlihat aurat dalam keseharian meski dalam aturan Alloh kewajiban untuk menutupnya cukup jelas.

Agar mudah mendapatkan pekerjaan banyak dari kita sekolah sampai jenjang yang tinggi. Latar belakang pendidikan akan mempengaruhi masa depan kita nantinya, terutama dalam masalah jenjang karir. Lagi, sampai saat ini kita masih belum mengetahui bagaimana cara wudhu yang baik sesuai dengan petunjuk nabi. Artinya, bagaimana shalat kita diterima apabila kita keliru dalam berwudhu. Ajaibnya hal itu tidaklah dianggap terlalu penting karena tidak pernah ditanyakan dalam setiap interview di perusahaan.

Masih banyak hal-hal lain dimana kita tidak adil dalam menempatkan antara dunia dan akhirat. Padahal, seandainya kita mau sedikit mempelajari, apa yang kita lakukan dalam 24 jam bisa bernilai ibadah. Namun untuk mempelajarinya badan ini sudah terlampau letih oleh setumpuk pekerjaan. Saking letihnya kita sering ketiduran untuk melaksanakan shalat isya. Namun, meskipun badan ini letih terkadang kondisi badan bisa menjadi fit kembali ketika ada panggilan dari atasan meskipun itu tiba-tiba.

Begitu pun pada hari libur di akhir pekan. Dengan alasan istirahat kita menghabiskan waktu dengan tidur, nonton tv, shopping, ke bioskop, hang out, dll. Sangat jarang dari kita untuk meluangkan waktu sesaat untuk sekedar membaca satu ayat dari ribuan firman Alloh. Apalagi membaca satu bab tata cara berwudhu. Bahkan meskipun tidak dalam kondisi bekerja kita masih saja tidak dapat melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Tetapi jika sang pacar meminta waktu untuk bertemu, kita akan dengan sigap memenuhi permintaannya itu tanpa pikir panjang dan tepat waktu.

Tidak salah jika sesakali kita memanjakan diri dengan hiburan di tengah kesibukan sehari-hari. Tapi apakah tidak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap dengan Alloh meski dengan shalat di awal waktu? Atau sekedar membaca satu ayat saja setiap minggunya?

Sebenarnya hukum untuk mendapatkan kebahagiaan dunia sama dengan kebahagiaan akhirat. Kita akan mendapatkan kemapanan hidup apabila memiliki bekal ilmu yang cukup dan bersungguh-sungguh bekerja. Tentunya untuk mendapatkan ilmu tersebut kita memerlukan waktu untuk mempelajarinya bahkan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Semua itu kita lakukan dan jalani dengan kerelaan.

Untuk mendapatkan akhirat pun demikian. Diperlukan ilmu yang cukup dan kesungguhan untuk mengamalkannya. Ilmu tersebut pun harus diusahakan dengan cara menuntut ilmu dan itu memerlukan waktu dan biaya. Namun kenapa kita menjadi pelit untuk segala hal yang dapat membuat kita lebih memahami ajaran islam. Membeli buku aqidah seharga lima puluh ribu akan terasa mahal apabila dibandingkan dengan jalan-jalan yang bisa menghabiskan uang sampai ratusan ribu rupiah.

Berhenti sejenak dan merenungi atas apa yang telah kita kerjakan mungkin salah satu sikap yang bijak. Mencoba berfikir atas semua aktivitas kita apakah sudah proporsional dan adilkah kebutuhan dunia dan akhirat kita tunaikan?

Akan terlalu berat mungkin apabila kita mengikuti Rasulullah dalam semua hal. Paling tidak ada proses untuk berkeinginan mengenal Alloh dalam ibadah-ibadah pokok dan milibatkan-Nya dalam seluruh aktivitas kita. Setidaknya untuk tidak lupa mengucapkan basmalah dalam setiap memulai aktivitas sehingga akan bernilai kebaikan. Alloh pun tidak membebankan syariat-Nya melainkan sesuai dengan kemampuan hamba-Nya.

Wallahu’alam

14 November 2008, 00.25
.

Renungan kala menyadari diri ini telah banyak berbuat dzalim atas hak-hak-Nya. Diri ini memang bukan seorang hamba yang taat melainkan penuh dengan kekhilafan. Namun masih berharap untuk datangnya secercah hidayah yang akan menggerakkan hati ini untuk lebih dekat mengenal Tuhannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp chat