Hanya Titipan

Renungan Jumat
Oleh Mustadihisyam

.

Dari pernikahan dua sahabat Rasulullah SAW, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim, lahir seorang anak bernama Abu Umair. Ketika Abu Thalhah pergi, Abu Umair anak satu-satunya dari pasangan tersebut meninggal dunia.  Ummu Sulaim mengurus mayat anaknya yang telah tiada dengan penuh ketabahan. Setelah dimandikan, Ummu Sulaim menidurkan anaknya di sebuah sudut rumahnya. Kemudian, ia berdandan dan memakai pakaiannya yang terbaik, serta memasak makanan yang lezat untuk menyongsong kepulangan suaminya, Abu Thalhah.

Ketika Abu Thalhah datang dan menanyakan anaknya, Ummu Sulaim berkata, ”Anak kita, sekarang sedang istirahat.” Sambutan Ummu Sulaim yang begitu menyenangkan, membuat Abu Thalhah tidak lagi merasa lelah, dan tidak ada lagi pikiran yang mengganggunya. Dia pun dapat menikmati makanan lezat yang dihidangkan oleh sang istri tercinta.

Ummu Sulaim berkata, ”Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu jika ada orang yang menitipkan sesuatu kepada seorang temannya. Namun, ketika orang itu meminta kembali barangnya, temannya malah marah?” Abu Thalhah berkata, ”Tidak boleh bertindak demikian, sebab bagaimanapun barang titipan harus dikembalikan kepada pemiliknya.”

Kemudian, Ummu Sulaim menyambung perkataannya, ”Anak yang kita cintai ini hanyalah titipan belaka. Sekarang, Allah telah mengambil kembali titipan-Nya itu.” Setelah mendengar perkataan istrinya yang begitu bermakna, maka Abu Thalhah pun sadar dan ridla akan ketentuan Allah. Dengan penuh ikhlas, Abu Thalhah berucap ”Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun” (kami semua milik Allah, dan kami semua akan kembali kepada-Nya).”

Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah SAW. Setelah bertemu, ia bercerita tentang musibah yang menimpa keluarganya.  Lalu, Rasulullah SAW mendoakan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim agar Allah memberkahi mereka berdua.  Doa Rasulullah SAW dikabulkan Allah SWT. Abu Thalhah mendapatkan putra lagi yang diberi nama Abdullah. Dari Abdullah inilah, Abu Thalhah mendapatkan sembilan orang cucu yang semuanya hafal dan ahli Alquran.  Abu Thalhah dan Ummu Sulaim adalah sepasang suami-istri yang layak dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari, dalam berumah tangga, juga dalam kehidupan bermasyarakat.

Kesadaran bahwa segala apa yang dimiliki manusia hanyalah titipan dari Allah, membuat manusia selalu tabah dan sabar, ketika mendapatkan ujian serta cobaan. Istri yang cantik adalah titipan, suami yang tampan adalah titipan, anak yang disayangi adalah titipan, pangkat dan jabatan adalah titipan yang harus dipertanggungjawabkan kelak. Rumah dan mobil mewah adalah titipan yang tidak selayaknya untuk dibanggakan dan dipamerkan. Semuanya itu suatu saat pasti akan diminta kembali dan diminta pertanggungjawabannya oleh Yang Empunya, Yang Maha Kaya Allah Subhanahu Wata’ala.

Ketika ada orang meminjami setumpuk piring kepada Anda, setelah Anda selesai memakainya maka tentunya setumpuk piring itu akan dikembalikan kepada pemiliknya, dengan beberapa kemungkinan kondisi piring yang berbeda-beda:

  • Pertama, saat Anda kembalikan, piring itu dalam kondisi kotor belum dicuci bersih, sehingga sipemilik piring itu harus mencucinya dahulu sebelum disimpan kembali.
  • Kedua, saat Anda kembalikan, piring dalam kondisi kotor dan pecah, ini tidak ada cara lain bagi sipemilik piring langsung dibuangnya.
  • Ketiga, saat Anda kembalikan, piring dalam kondisi utuh, bersih dan baunya harum, tentu sipemilik akan senang hati saat menerimanya kembali.

Dari ketiga contoh pengembalian di atas, Anda sebagai orang yang beriman akan memilih  kondisi yang ketiga, mengembalikan piring dalam kondisi utuh, bersih dan baunya harum. Jadi saat Istri, suami, anak, harta dan jabatan yang  Anda punyai diminta oleh yang empunya Allah harusnya dalam kondisi yang baik, bisa dipertanggung jawabkan. Bahkan saat nyawa Anda diminta oleh Allah, maka tidak ragu-ragu lagi langsung disimpan kembali dalam Jannah – surgaNya. Tidak harus mengalami pembersihan dahulu oleh Allah dalam siksaNya dan betapa sakitnya, apalagi kalau pada saat diminta kembali dalam kondisi rusak sehingga tidak cara lagi kecuali langsung dilempar ke dalam neraka jahanam.

Allah SWT berfirman, ”Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada mereka yang sabar, (yaitu) mereka yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun.” (QS Albaqarah, ayat 155-156).

walanabluwannakum bisyay-in mina alkhawfi waaljuu’i wanaqshin mina al-amwaali waal-anfusi waaltstsamaraati wabasysyiri alshshaabiriina

[2:155] Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
.
alladziina idzaa ashaabat-hum mushiibatun qaaluu innaa lillaahi wa-innaa ilayhi raaji’uuna

[2:156] (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”

Menutup artikel ini, saya kutipkan puisi  WS Rendra (almarhum) sebagai bahan renungan:

Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan

Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku

Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku

Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
“Ketika langit da
n bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”

Wallahu a’lam bish-shawab.

3 Replies to “Hanya Titipan”

  1. Tks p’Mus.. sangat bermanfaat, khususnya untuk saya pribadi..mudah-mudahan saya bisa lebih sabar dan ikhlas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp chat