rojulun laa yadri, wa huwa laa yadri

mustadiOleh Mustadihisyam

Aristoteles membagi manusia menjadi empat golongan, salah satunya adalah orang yang tidak tahu bahwa ia tidak tahu (rojulun laayadri, wahuwa laayadri)*, yaitu orang yang tidak mengerti dan menyadari kekurangan dirinya dan tidak pula berusaha untuk memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik.

Orang yang masuk golongan ini adalah orang yang paling nestapa hidupnya, paling rugi di dunia juga di akhirat nanti. Hidupnya terombang ambil bagaikan kapal tanpa nahkoda, tinggal tunggu kapan nabrak dan tenggelam di dasar laut. Laksana seorang buta berjalan di kegelapan malam hari tanpa tongkat, akhirnya jatuh terperosok ke dalam lumpur.

Orang ini tidak mengeri apa yang mereka lakukan selama ini salah, menyakiti hati orang lain merupakan hal yang biasa, hebatnya lagi dia tetap saja melakukan perbuatanya yang salah itu dengan santainya walaupun orang lain sudah memperingatkan dan menasihatinya.

Pengalaman pahit tentang kehidupan sepakterjangnya juga tidak menjadi pelajaran yang berharga dalam hidupnya untuk menatap ke depan. Bahkan orang ini selalu mengulang-ulang perbuatannya yang salah itu dan bahkan menjadi suatu kebanggaan.

Dia merasa bebas dalam berbuat, tak merasa bersalah, tak mengenal dosa dan tak ada rasa malu. Prinsipnya yang terpenting kepuasan tercapai, halal haram, baik buruk tak ada urusan, masa bodoh dengan akibat dari perbuatannya.

Peran Orangtua

Ada seorang laki-laki remaja yang mungkin dari kecil tidak pernah diajarkan pendidikan agama, tak diajari etika, hidup serba kecukupan karena orang tuanya seorang pejabat, dan sangat disayangkan orang tuanya juga memberikan contoh perbuatan yang tidak baik.

Apa yang terjadi dengan laki-laki remaja itu  setelah beberapa tahun kemudian?

Dengan modal tampang, kekayaan dan nama jabatan orang tuanya, tanpa bekal pemahaman agama dan ajaran ahlaq yang baik, dia dalam pergaulannya banyak melakukan perbuatan yang menghalalkan segala cara sehingga merusak tatanan hidup bermasyarakat. Satu demi satu wanita-wanita catik menjadi korban nafsunya tanpa disertai ada rasa tanggung jawab, tanpa ada rasa malu kepada masyarakat.

Orang ini tak bisa merasakan betapa sakit hatinya wanita-wanita itu karena ulah perbuatan bejatnya. Orang ini tak mau mengerti kalau wanita itu menanggung malu selama hidupnya, karena hilang kehormatannya, juga tak ambil pusing dengan buah hasil nafsunya. Dia tak mengerti apa arti kasih sayang dan memang tak mau tahu karena tidak diajarkan dan tak dicontohkan oleh orang tuanya juga lingkungan pergaulannya.

Contoh lelaki seperti inilah yang termasuk golongan “orang yang tidak tahu bahwa ia tidak tahu”, orang yang paling malang dalam kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Orang seperti ini bisa mendengar tapi tuli karena dia tidak bisa mendengarkan suara hati. Bisa melihat tapi buta karena dia tak mau melihat dengan mata hatinya. Kalbunya terselimuti hawa nafsu, sehingga pancaran cahaya hatinya tak mampu menembus gegelapan jalan hidupnya.

Manusia seperti ini tidak tahu kalau derajat seorang laki-laki/suami itu tidak ditentukan dengan ketampanan, pangkat, kekayaan dan jabatan, tetapi derajat itu ditentukan oleh sikap kelembutan terhadap wanita/istrinya. Orang-orang semacam ini akan mendapat gelar derajat kepangkatannya lebih rendah dari pada binatang. Naudzubillahi min dzalik.

walaqad dzara/naa lijahannama katsiiran mina aljinni waal-insi lahum quluubun laa yafqahuuna bihaawalahum a’yunun laa yubshiruuna bihaa walahum aatsaanun laa yasma’uuna bihaa ulaa-ika kaal-an’aami bal hum adhallu ulaa-ika humu alghaafiluuna

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata tetapi tak digunakan untuk melihat tanda tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga tetapi tak digunakan untuk mendengarkan ayat-ayat Allah. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih rendah lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS Al A’raaf 179).

robbana hablana min azwaajina.png

Semoga Allah dengan Maha Kasih dan SayangNya senantiasa meridhoi doa yang selalu kita panjatkan sehabis sholat : Yaa Allah karuniakan kepada kami, dari istri/suami kami dan anak turun kami yang menjadikan permata hati kami dan jadikanlah kami yaa Allah sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa kepada Mu. Aamiin ya Rabbal’aalamiin.

salam, Mustadi.

*lengkapnya rojulun la yadri wa la yadri annahu la yadri, fabidzalika jahilun fatrukuhu, manusia yang tidak mengerti kalau dirinya tidak mengerti, inilah manusia bodoh. Karena orang-orang seperti ini biasanya tidak mau belajar dan tidak mau peduli dengan hukum-hukum. Mereka termasuk manusia-manusia yang selalu mengedepankan syahwat (nafsu) dunia semata. 

2 Replies to “rojulun laa yadri, wa huwa laa yadri”

  1. Sebenarnya juga tanggungjawab kita/manusia supaya tdk menurunkan bibit yg seperti itu, tanggung jawab kita juga utk mengingatkan, memberikan pencerahan dan mendoakan bagi mereka yg seperti itu….. seperti yg telah dilakukan dan dicontohkan oleh junjungan kita Njeng Nabi Muhammad SAW…….. Insya ALLAH Aamiin….

  2. Sing arep tak takokne, kok rujukane Aristoteles ning unine boso Arab, yo? Kapan Aristoteles sinau ngaji? Neng blog tak tak tambahi neng baris akhir, ning yo ora nyebut sumbere saka ngendi. Sepuntene pak Ustadz..Nyuwun pitedah…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp chat